“kau masih mencintai pria seperti itu?” tanya Ariya.
Aku mengangguk. “hah, yang benar saja. Bukankah ia berjanji
akan jadian denganmu? dan dia malah dengan wanita itu. Kau masih mencintai
orang yang seperti itu?” ucap Ariya dengan nada yang cukup tinggi. “dia tidak
pernah berjanji padaku,Aliya. Itu hanya pembicaraan kami, dan aku yang salah
karena menganggap bahwa itu adalah janjinya. Pada kenyataannya, ia tidak pernah
berjanji untukku” Aku menenangkan emosi Ariya dengan memberinya jus orange
kesukannya.
Ariya meneguk jus orange dengan perlahan. Suara lega dari
tenggorokannya mulai terdengar. Ariya meneguk jus orange nya sekali lagi,
sepertinya ia kehausan. “Menurutku itu tetap saja janji. Ketika ia mengatakan
bahwa akan jadian denganmu, itu adalah hal yang serius, dan hal yang serius itu
menurutku adalah janji,lif” ucapnya. “menurutku, janji adalah sebuah kontrak
psikologis yang menandakan transaksi antara 2 orang di mana orang pertama
mengatakan pada orang kedua, hingga akhirnya mereka berdua membuat persetujuan.
Ingat Ariya,harus ada persetujuan antara kedua belah pihak!”
“tapi lif, bagiku janji adalah suatu kesanggupan untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu dalam usaha untuk mendapatkan kepercayaan.
Tujuan ia berbicara seperti itu ya untuk mendapatkan kepercayanmu kan? jadi itu
termasuk janji. Lagipula janji bisa dalam bentuk ucapan atau kontrak kok” ucap
Ariya bersemangat. Kali ini ia benar, aku tidak bisa berkutik lagi. Semua yang
ia ucapkan benar, sangat.
“aku benar kan?” Ariya begitu senang melihatku kalah. Ia
tersenyum kegirangan. “lalu kalau itu memang benar janji,kenapa? Dia sudah
melanggar janjinya, lalu apa?” tanyaku. Kali ini giliran Ariya yang diam. Ia
mulai memutar otak untuk mencari pembelaan. “Ya mengapa kamu masih
mencintainya? Biarkan saja pria itu dengannya. Lepaskan, suatu saat nanti ia
juga akan kembali padamu”
“Mengapa aku masih mencintainya? Bukankah itu hak ku? Aku
tidak bisa seenaknya mengubah perasaanku. Ini mengalir begitu saja. Dan untuk
masalah itu, aku sudah merelakannya. Bahkan sebelum ia balikan;aku sudah
merelakannya, sangat” jawabku.
Aku bohong pada sahabatku sendiri. Aku belum merelakannya.
Sulit memang, tapi bukan berarti tidak bisa kan? Pria itu tetap saja menghantui
pikiranku. Aku membencinya? tentu. Tapi rasa sayang ini mengubur semua rasa
benci. Aneh.
“Kau sudah membuang-buang waktu untuk menunggunya. Apa yang
akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Ariya. “Tetap menunggunya” jawabku
singkat. “Apa kau GILA?” Ariya melotot ke arahku. Aku tertawa melihat
tingkahnya yang seperti itu. Ariya diam. “Kau bercanda kan,lif?” tanya nya.
“Menurutmu?”
Will be continue..