Minggu, 30 Agustus 2015

Ten Month, Nightmare (eps.2)

“kau masih mencintai pria seperti itu?” tanya Ariya.

Aku mengangguk. “hah, yang benar saja. Bukankah ia berjanji akan jadian denganmu? dan dia malah dengan wanita itu. Kau masih mencintai orang yang seperti itu?” ucap Ariya dengan nada yang cukup tinggi. “dia tidak pernah berjanji padaku,Aliya. Itu hanya pembicaraan kami, dan aku yang salah karena menganggap bahwa itu adalah janjinya. Pada kenyataannya, ia tidak pernah berjanji untukku” Aku menenangkan emosi Ariya dengan memberinya jus orange kesukannya.

Ariya meneguk jus orange dengan perlahan. Suara lega dari tenggorokannya mulai terdengar. Ariya meneguk jus orange nya sekali lagi, sepertinya ia kehausan. “Menurutku itu tetap saja janji. Ketika ia mengatakan bahwa akan jadian denganmu, itu adalah hal yang serius, dan hal yang serius itu menurutku adalah janji,lif” ucapnya. “menurutku, janji adalah sebuah kontrak psikologis yang menandakan transaksi antara 2 orang di mana orang pertama mengatakan pada orang kedua, hingga akhirnya mereka berdua membuat persetujuan. Ingat Ariya,harus ada persetujuan antara kedua belah pihak!”

“tapi lif, bagiku janji adalah suatu kesanggupan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu dalam usaha untuk mendapatkan kepercayaan. Tujuan ia berbicara seperti itu ya untuk mendapatkan kepercayanmu kan? jadi itu termasuk janji. Lagipula janji bisa dalam bentuk ucapan atau kontrak kok” ucap Ariya bersemangat. Kali ini ia benar, aku tidak bisa berkutik lagi. Semua yang ia ucapkan benar, sangat.

“aku benar kan?” Ariya begitu senang melihatku kalah. Ia tersenyum kegirangan. “lalu kalau itu memang benar janji,kenapa? Dia sudah melanggar janjinya, lalu apa?” tanyaku. Kali ini giliran Ariya yang diam. Ia mulai memutar otak untuk mencari pembelaan. “Ya mengapa kamu masih mencintainya? Biarkan saja pria itu dengannya. Lepaskan, suatu saat nanti ia juga akan kembali padamu”

“Mengapa aku masih mencintainya? Bukankah itu hak ku? Aku tidak bisa seenaknya mengubah perasaanku. Ini mengalir begitu saja. Dan untuk masalah itu, aku sudah merelakannya. Bahkan sebelum ia balikan;aku sudah merelakannya, sangat” jawabku.

Aku bohong pada sahabatku sendiri. Aku belum merelakannya. Sulit memang, tapi bukan berarti tidak bisa kan? Pria itu tetap saja menghantui pikiranku. Aku membencinya? tentu. Tapi rasa sayang ini mengubur semua rasa benci. Aneh.

“Kau sudah membuang-buang waktu untuk menunggunya. Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanya Ariya. “Tetap menunggunya” jawabku singkat. “Apa kau GILA?” Ariya melotot ke arahku. Aku tertawa melihat tingkahnya yang seperti itu. Ariya diam. “Kau bercanda kan,lif?” tanya nya. “Menurutmu?”



Will be continue..

Kamis, 06 Agustus 2015

Ten Month, Nightmare

eps. 1

Sakit? tentu..

Perempuan mana yang tidak sakit jika pria yang selama ini ia idam-idamkan, yang ia banggakan, yang ia perjuangkan; lebih memilih bersama perempuan lain. Kesakitan itu bertambah menjadi dua kali lipat ketika tahu bahwa perempuan itu adalah orang yang kamu kenal, perempuan yang pernah dekat denganmu, perempuan yang memberi kesan baik ketika pertama kali bertemu denganmu. Lalu aku bisa apa? Ketika pria itu lebih memilih dirinya, aku hanya diam. Berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Meskipun ini mimpi buruk, tak apa; asalkan peristiwa ini tidak pernah terjadi. Tapi kenyataannya? Ketika aku terbangun dari tidurku, peristiwa ini tetap terjadi. Ini bukan mimpi. Bukan lagi mimpi buruk, tapi kenyataan yang buruk.

“apakah kau melihat statusnya kemarin? Ariya menghampiriku, membawa handphone kesayangannya dan memperlihatkan tulisan di layar handphonenya. “aku sudah lihat” aku melepas pandangan dari layar handphone nya.  Ariya tentu saja mengerti maksud tindakannku. Ia bingung ingin melanjutkan pembicaraan seperti apa. Ia sesekali melihatku, dan sesekali pula melihat seluruh isi ruangan kamar. Ariya berharap akan mendapatkan inspirasi untuk memulai obrolan baru.
“maaf bukan maksudku begitu, aku hanya ingin tahu; apakah kamu baik-baik saja?” Ariya memulai percakapan baru dengan suaranya yang terbata-bata. Aku melirik ke arahnya “Menurutmu apakah aku baik-baik saja?”

“aku hanya ingin menghiburmu lif, cerita lah. Tidak seperti biasanya kamu begini” aku menarik napas panjang, berusaha untuk tidak menangis di hadapan sahabatku ini. “baiklah kalau begitu” ucapku. Ariya mulai tersenyum seakan-akan ia antusias untuk mendengarkan ceritaku. “sejak awal, aku tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi---“ Ariya memegang lenganku, ia berhasil memotong pembicaraan. “maksudmu?” tanya nya.

“dengarkan aku duluuuu” Ariya yang merasa dirinya bersalah segera melepaskan tangannya dari lenganku. Ia mengangguk pelan. Aku menarik napas panjang dan mulai melanjutkan cerita. “Aku tahu ini akan terjadi, maksudku; aku merasakan sesuatu yang beda ketika ia mendekatiku. Aku biasa saja padanya, perasaan ini tak lagi seperti dulu. Setiap kali ia ingin bicara serius, aku selalu mengindar, entah kenapa aku merasa ia hanya mempermainkanku; dan kenyataannya itu benar kan?”

“Kenapa kau menghindarinya lif? Bukankah kau ingin bersamanya?” tanya Ariya. Aku mengangguk, seolah mengerti pertanyaannya. “Tentu saja aku ingin bersamanya, sangat. Tapi ia mendekatiku ketika baru saja putus dengan mantannya; beberapa minggu yang lalu. Apa itu bisa kau katakan serius? Aku punya firasat, ini hanya permainan saja. Aku rasa ia akan balik lagi dengan mantannya, dan sekarang benar kan?” ucapku panjang lebar. Tenggorokannku terasa kering jika harus berbicara sepanjang ini.

“pria ituuu” Ariya mengepalkan tangannya seolah-olah ingin menghajar pria itu. “Jangan begitu, aku masih mencintainya, jika kau memukul dia seperti itu; aku juga akan memukulmu” Ariya memecingkan matanya. Aku terkekeh. “kau masih mencintai pria seperti itu?” tanya Ariya.


Will be Continue....