“Kau bercanda kan,lif?” tanya nya.
“Menurutmu?”
“Jadi kau serius?” Nada bicara Ariya meninggi.
“Tentu saja tidak. Aku akan berusaha untuk tidak menunggunya lagi. Rasanya aku
ingin pergi;menyerah lebih tepatnya. Di hatinya sudah ada orang lain, untuk apa
aku tetap mengejarnya. Meskipun aku berjuang sekuat tenaga, berjuang untuk
menjadi wanita yang bisa ia andalkan; jika di hatinya ada orang lain, percuma”
jawabku.
Ariya memperlihatkan giginya yang rapi. Ia
menyengir lebar. Ariya tidak pernah menduga aku akan menjawab pertanyaannya
seperti itu. “bagus lif, aku setuju denganmu. Kenapa kau tiba –tiba memutuskan
hal ini? Bukankah tadi kau bilang, kau masih mencintainya” Ariya meneguk jus
orange hingga tinggal separuh dari awalnya.
“Aku memang masih mencintainya, Ariya. Tapi
bukan berarti ia bisa mempermainkanku seenaknya. Ia sudah menghabiskan waktu
ku. Maksudnya, aku. Aku yang telah menghabiskan waktu untuknya. Hasil dari
sepuluh bulanku, ternyata seperti ini. Sakit, tentu saja. Lebih baik aku
memutar arah balik karena sudah tahu jalan di depan berbahaya. Daripada aku
tetap memaksakan pergi, yang pada akhirnya akan membuatku jatuh tersungkur”
ucapku
“Jadi, kau mengikhlaskannya?” tanya Ariya. Aku
menelan ludah, menarik napas panjang, dan melanjutkan pembicaraan. “Ariya,
apakah kau tahu ikhlas itu?” tanya ku padanya. Ariya mengangguk. “tentu saja.
Ikhlas itu rela. Rela melepaskan sesuatu yang memang bukan untuk kita. Rela
meninggalkan sesuatu yang memang tidak baik untuk kita” jawab Ariya
bersemangat.
“Bagaimana caranya kau tahu bahwa itu tidak
baik untukmu?” tanya ku. Ariya diam. Untuk kesekian kalinya, ia melihat seluruh
isi ruangan kamar. Berharap akan ada inspirasi untuk menjawab pertanyaanku.
“Kau tidak akan pernah tahu hal itu, jika bukan kamu sendiri yang
mempercayainya. Aku pernah membaca sesuatu, tulisan itu membuatku diam beberapa
saat. Aku mencoba mendalami arti tulisan itu. Ketika aku berhasil mengerti
maksudnya, aku paham bahwa ikhlas itu; ketika kau merawat dengan tulus sebuah
kepompong hingga ia menjadi kupu-kupu, padahal kau tahu bahwa semua yang
bersayap akan terbang” jawabku.
Aku mencoba mengikhlaskannya. Entah sudah
berapa kali ia membuatku menangis. Entah berapa kali ia mengajakku terbang
tinggi, lalu menjatuhkanku tanpa memberikan parasut. Ia yang aku jadikan
satu-satunya, ia yang selama ini menjadi tujuanku, ia yang selama ini menjadi
inspirasiku untuk bangkit, ia yang selama ini aku jadikan satu-satunya tempat
bersandar; pada akhirnya akan pergi. Dan ini waktunya. Meskipun ini berat,
ikhlaskan.
Pada akhirnya, semua yang datang akan pergi.
Dan semua yang pergi akan kembali. Aku memang mengikhlaskanmu, tapi bukan
berarti aku berhenti berharap. Jika saat ini kau benar-benar pergi, aku harap
suatu hari nanti; kau akan benar-benar kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar