Minggu, 04 Juni 2017

Bintang di Ujung Malam (End)

“Ini sudah ku pikirkan matang-matang, dan mungkin aku baru sempat bicarakan ini sekarang” kamu mengeluarkan sesuatu entah darimana, tiba tiba di tanganmu sudah ada bungkusan plastik yang tak bisa ku tebak apa isinya. Kau mengambil isi dari plastik putih itu, bentuknya seperti trapesium yang cukup panjang dengan bungkusan luar berwarna cokelat. Aku masih belum bisa menebak apa yang akan kamu beri, setelah beberapa detik kemudian aku menyadarinya “COKLAT” batinku kegirangan, sama seperti anak kecil yang diberikan hadiah oleh papanya yang sudah sekian lama bekerja di luar kota.

                “Jadi gini, dulu aku sudah pernah menanyakan hal ini tapi kau belum menjawab. Aku harap kau menjawabnya sekarang” ucapnya dengan tetap memegang coklat itu di tangannya. Aku terdiam, masih menikmati pemikiranku sendiri. “Oke, mungkin kamu sudah tidak mengingatnya. Baiklah, daripada basa-basi lebih baik aku langsung pada topic pembicarannya” ucapmu. “Aku mencintaimu, apakah kamu mau jadi pacarku” Aku masih saja hanyut dalam pikiranku. Bingung, sekaligus senang. Aku tidak menyangka tiba-tiba dia berbicara seperti itu, ini seperti mimpi. Akhir-akhir ini kami memang lebih dekat daripada dahulu, tetapi hanya sebatas chatting tanpa bertemu.

                “Kenapa diam saja, apa kamu tidak suka?” ucapannya membuyarkan lamunanku. “tidak, tidak. Bukan begitu. Aku hanya kaget saja mendengarnya. Bukankah kau sudah tau sendiri apa yang akan ku jawab?” ucapku, lalu ia memberikan coklat itu dan meletakkannya di tanganku. “Aku hanya ingin memastikan perasaanmu lagi, aku hanya takut semua ini berubah. Makan coklat itu jika jawabanmu iya”

                “Coklat ini ada kacangnya, aku kan tidak suka kacang. Kau tega sekaliiiii” ucapku dengan sedikit kecewa. “Aku memang sengaja membelikannya untukmu, bukankah di dalam suatu hubungan tidak selalu seperti apa yang kamu inginkan? Oleh karena itu, aku ingin kau bisa menerimanya nanti. Seperti kamu yang harus menerima coklat ini karena kamu suka, dan harus menerima kacang ini meskipun kamu tidak suka. Setiap keputusan selalu punya konsekuensi sendiri, tergantung kamu mau menerimanya atau tidak” aku mengangguk menandakan setuju dengan ucapannya barusan. Aku mengerti maksudnya sekarang.

                Aku memakan coklat itu dengan lahap, memang aku sangat menyukai coklat tetapi agak sedikit tersiksa dengan kacang yang berada di dalamnya. Ia tertawa kecil melihat ekpresiku yang berusaha menolak rasa kacang ini, memang tidak bisa dipungkiri bahwa lidah tidak pernah berbohong soal rasa. “Itu tandanya kau menerimaku kan?” tanyanya, aku hanya mengangguk malu. Ia tersenyu, dan aku sangat suka senyum itu.


                Bunyi telepon membuyarkan lamunanku, ternyata itu notification dari handphoneku. Aku dengan cepat membalas pesan singkatmu. “Aku ingin sarapan dulu, nanti kita lanjut lagi ya” aku menutup handphoneku dan pergi ke ruang makan dengan senyum yang masih mengembang diwajahku. “ternyata ini bukan mimpi” gumamku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar