“Ini sudah ku pikirkan matang-matang, dan mungkin aku baru
sempat bicarakan ini sekarang” kamu mengeluarkan sesuatu entah darimana, tiba
tiba di tanganmu sudah ada bungkusan plastik yang tak bisa ku tebak apa isinya.
Kau mengambil isi dari plastik putih itu, bentuknya seperti trapesium yang
cukup panjang dengan bungkusan luar berwarna cokelat. Aku masih belum bisa
menebak apa yang akan kamu beri, setelah beberapa detik kemudian aku
menyadarinya “COKLAT” batinku kegirangan, sama seperti anak kecil yang
diberikan hadiah oleh papanya yang sudah sekian lama bekerja di luar kota.
“Jadi
gini, dulu aku sudah pernah menanyakan hal ini tapi kau belum menjawab. Aku
harap kau menjawabnya sekarang” ucapnya dengan tetap memegang coklat itu di
tangannya. Aku terdiam, masih menikmati pemikiranku sendiri. “Oke, mungkin kamu
sudah tidak mengingatnya. Baiklah, daripada basa-basi lebih baik aku langsung
pada topic pembicarannya” ucapmu. “Aku mencintaimu, apakah kamu mau jadi
pacarku” Aku masih saja hanyut dalam pikiranku. Bingung, sekaligus senang. Aku tidak
menyangka tiba-tiba dia berbicara seperti itu, ini seperti mimpi. Akhir-akhir
ini kami memang lebih dekat daripada dahulu, tetapi hanya sebatas chatting
tanpa bertemu.
“Kenapa
diam saja, apa kamu tidak suka?” ucapannya membuyarkan lamunanku. “tidak, tidak.
Bukan begitu. Aku hanya kaget saja mendengarnya. Bukankah kau sudah tau sendiri
apa yang akan ku jawab?” ucapku, lalu ia memberikan coklat itu dan
meletakkannya di tanganku. “Aku hanya ingin memastikan perasaanmu lagi, aku
hanya takut semua ini berubah. Makan coklat itu jika jawabanmu iya”
“Coklat
ini ada kacangnya, aku kan tidak suka kacang. Kau tega sekaliiiii” ucapku
dengan sedikit kecewa. “Aku memang sengaja membelikannya untukmu, bukankah di
dalam suatu hubungan tidak selalu seperti apa yang kamu inginkan? Oleh karena
itu, aku ingin kau bisa menerimanya nanti. Seperti kamu yang harus menerima
coklat ini karena kamu suka, dan harus menerima kacang ini meskipun kamu tidak
suka. Setiap keputusan selalu punya konsekuensi sendiri, tergantung kamu mau menerimanya
atau tidak” aku mengangguk menandakan setuju dengan ucapannya barusan. Aku
mengerti maksudnya sekarang.
Aku
memakan coklat itu dengan lahap, memang aku sangat menyukai coklat tetapi agak
sedikit tersiksa dengan kacang yang berada di dalamnya. Ia tertawa kecil
melihat ekpresiku yang berusaha menolak rasa kacang ini, memang tidak bisa
dipungkiri bahwa lidah tidak pernah berbohong soal rasa. “Itu tandanya kau
menerimaku kan?” tanyanya, aku hanya mengangguk malu. Ia tersenyu, dan aku
sangat suka senyum itu.
Bunyi
telepon membuyarkan lamunanku, ternyata itu notification dari handphoneku. Aku
dengan cepat membalas pesan singkatmu. “Aku ingin sarapan dulu, nanti kita
lanjut lagi ya” aku menutup handphoneku dan pergi ke ruang makan dengan senyum
yang masih mengembang diwajahku. “ternyata ini bukan mimpi” gumamku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar